Jumat, 19 November 2010

Sejarah Letusan Gunung Krakatau

Letusan terdahsyat dari Gunung Krakatau (Krakatoa) terjadi pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Seperti yang saya baca diberbagai sumber, salah satunya d Wikipedia.org, letusan pada 1883 itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York. Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut.

Pasca meletus dan hancurnya Gunung Krakatau pada 1883, baru sejak pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari Kawasan Kaldera Purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya.

Pray for Indonesia!

Deni Andriana

Gunung anak krakatau

Krakatoa) yang berada berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatera, kini sedang meletus. Tercatat hingga 6 November 2010 ini, telah terjadi peningkatan gempa vulkanik mencapai 101 kali. Letusan Gunung Anak Krakatau ini terjadi seiring dengan meletusnya Gunung Merapi. Layaknya sebuah reaksi sesama ‘kolega’ – sebagaimana 21 gunung berapi lainnya di Indonesia yang kini berstatus waspada (Lihat : 22 Volcano in Indonesian). Gunung Krakatau seakan memberikan respon terhadap Merapi yang kini sedang ‘melahirkan.’

Bedanya dengan Letusan yang terjadi di Gunung Merapi, letusan yang kini terjadi pada Gunung Anak Krakatau menurut keterangan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi hanya letusan biasa. Sebuah aktivitas wajar karena memang gunung berapi sudah semestinya melakukan letusan agar tidak terjadi penumpukan didalam. Akibat positifnya, letusan yang dicicil menjadi tidak berbahaya. Disisi lain, akibat dari letusan demi letusan ini, Gunung Anak Krakatau akan menjadi lebih besar dari segi ukuran.

Gunung Anak Krakatau ini merupakan gunung yang tumbuh dari sisa letusan maha dahsyat Gunung Krakatau pada Agustus 1883. Setiap tahun si anak menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi Anak Krakatau mencapai 7.500 inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung ini disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

Karena letusan yang sekarang merupakan letusan normal dan tidak berpotensi tsunami dan apalagi jauh dari pemukiman penduduk (berbeda dengan Gunung Merapi yang dekat dengan pemukiman), maka baik dari pemerintah Banten dan Lampung mengajak agar masyartakat tidak panik, malah ada ajakan pada masyarakat untuk menontonnnya dari jarak aman, menyaksikan fenomena alam dari letusan Anak Krakatau ini. Pengelola wisata disana berharap letusana kali ini bisa mejadi komoditas wisata yang mampu mengundang wistawan baik lokal maupun internasional.

akibat erupsi merapi, ekonomi sleman rugi Rp 5 triliun

Yogyakarta, CyberNews. Hasil estimasi sementara Bappeda Kabupaten Sleman per tanggal 14 Nopember 2010, kerugian atas erupsi Merapi di daerahnya mencapai Rp 3,385 trilyun. Angka itu belum termasuk kerugian di subsektor perikanan, wisata Kaliurang, infrastruktur dan bangunan SD-SMP.
Namun jika semuanya dihitung, menurut estimasi sementara ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Cabang Yogyakarta, kerugian tersebut mencapai Rp 5 trilyun. "Bila cakupan wilayah kerugian diperluas dengan wilayah yang berbatasan ketiga kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Sleman dan Tempel kerugian yang ditimbulkan tentu akan meningkat," kata Ketua ISEI Yogyakarta Prof Lincolin Arsyad PhD.
Akibat erupsi Merapi menjadikan banyak masyarakat di wilayah bencana masih harus mengungsi. Tercatat jumlah pengungsi di seluruh wilayah DIY sebanyak 152.075 orang, sedangkan di wilayah Kabupaten Sleman sebanyak 111.569 orang. Bahkan data Kantor Bank Indonesia Cabang Yogyakarta (18/11) menunjukkan debitur UMKM, sebanyak 3.655 berpotensi macet dengan besaran nominal mencapai Rp 106,4 Milyar.
"Melihat kondisi tersebut, ISEI Yogyakarta memutuskan untuk sebagai langkah awal membentuk Tim Percepatan Pemulihan Ekonomi Pasca Erupsi Bencana Merapi," ujarnya di MM UGM.
Dihadapan wartawan, Dia menyebutkan tim yang baru saja dibentuk itu menunjuk Prof Mudrajad Kuncoro PhD bertindak sebagai koordinator. Untuk percepatan pemulihan, tim tersebut menjalankan dua fokus perhatian, yaitu Pemulihan Ekonomi dengan Koordinator Dr Fahmy Radhi MBA dan Pemulihan Citra Yogyakarta dengan Koordinator Drs Wing Wahyu Winarno MAFIS Akt.
Tim itu pun dengan segera mendesak kepada Bank Indonesia untuk mempertimbangkan pemutihan kredit (''write off'') UMKM sampai dengan Rp 100 juta dengan anggaran dari pemerintah pusat, pemerintah Provinsi DIY atau BUMN. "ISEI Cabang Yogyakarta akan menindaklanjuti hal ini dengan mengirimkan surat kepada Gubernur BI tembusan kepada Pemimpin Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, Gubernur DIY dan Menteri Negara BUMN," jelasnya.
Selain itu, ISEI Yogyakarta mendesak dan akan mengirim surat kepada Menteri Keuangan (cq Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai) untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang memberikan penghapusan (sampai 100%) Pajak Bumi dan Bangunan selama 3 tahun, fasilitas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) untuk wajib pajak yang terkena dampak bencana Merapi serta Bea Masuk (BM).
Lincolin juga berharap, kepada media untuk membuat berita dengan perspektif lebih positif, misalnya saat bencana alam menimpa DIY maka akan terlihat modal sosial dan solidaritas masyarakat DIY yang sangat kuat. Dengan perspektif itu, maka tayangan dan liputan bencana tetap memberikan gambaran/citra positif pada wilayah yang terkena bencana tersebut.
"Kami juga menghimbau PTN dan PTS di DIY untuk membantu pemulihan ekonomi Kabupaten Sleman dengan sejumlah aksi misalnya penerjunan KKN tematik di daerah bencana," tambahnya.
( Bambang Unjianto /CN27 )

KEKUATAN MISTIS GUNUNG MERAPI

NAMA gunung Merapi sudah cukup populer di telinga masyarakat Indonesia. Sesuatu yang berkaitan keberadaan gunung Merapi kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau misteri, di antaranya keberadaan makhluk-makhluk gaib penguasa dan penghuni gunung Merapi. Hal ini tidaklah berlebihan, karena hasil investigasi membuktikan bahwa masyarakat setempat yakin kalau penghuni dan penguasa gunung Merapi memang ada.
Mereka memanggilnya dengan sebutan Eyang Merapi. "Bapak lihat bukit kecil di atas itu? Itu namanya gunung Wutah, gapuranya atau pintu gerbangnya kraton Eyang Merapi". Sebaris kalimat dengan nada bangga itu meluncur begitu saja dari Bangat, seorang penduduk asli Kinahrejo Cangkrinagan Sleman, sesaat setelah kami menapaki sebuah ara tandus berbatu tanpa hiasan pepohonan sebatang pun.
Masyarakat setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi. Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta permisi begitu di atasnya. "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan, sumangga silakna rikma niro," imbuh istri Bangat, Suharjiyah, sembari menuntun kami untuk menirukan lafal tersebut.
Tenyu saja, imbauan sepasang suami istri yang tubuhnya kian keriput dimakan usia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, sang penguasa kraton Merapi sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat fatal. "Mereka yang sama sekali tidak mengubris pakem kultur tersebut jelas akibatnya akan fatal, biasanya akan tersesat hingga kecebur jurang," tegas Bangat.
Satu hal yang perlu diingat, setiap pendatang baru di kawasan Kinahrejo niscaya bakal celaka bila sampai menyakiti hati penduduk setempat. "Nantinya bisa-bisa kuwalat jadinya," imbuh Bangat. Sekejam itukah? "Sebenarnya sih enggak. Cuma memang, Eyang Merapi itu nggak suka kalau kampung sini (Kinahrejo, Red) jadi sasaran perbuatan yang nggak terpuji. Masalahnya, warga sini sebetulnyakan masih termasuk rakyatnya kraton Eyang Merapi. Nggak percaya? Coba saja Bapak perhatikan dan tanyakan kepada warga sini, apa pernah wilayah ini terkena semburan lahar panas Merapi? Pasti jawab mereka tidak," terang Bangat.
Ditambahkan, beberapa warga setempat menggambarkan sosok penguasa kraton Merapi dengan makhluk yang menyeramkan, namun berhati mulia dan tidak bermaksud jahat, "Dia adalah pengayom masyarakat setempat," tandas Suharjiyah. Besarnya rasa percaya masyarakat setempat terhadap keberadaan Eyang Merapi membuat mereka yakin bahwa akan hal-hal yang mistis yang terjadi menimpa masyarakat. Misalnya, pintu gerbang kramat, penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi itu percaya bahwa pintu gerbang tersebut penangkal dari segala marabahaya.
Pintu gerbang yang berdiri selama 9 abad itu nyaris pernah tersentuh bencana gunung Merapi. Padahal secara teknis daerah tersebut termasuk daftar daerah bahaya. Hal itu juga tak lepas dari keberadaan dua buah bukit (Wutah dan Kendit) yang berfungsi sebagai benteng desa-desa sekitar Kinahrejo. "Bukit Kendit maupun bukit Wutah itu kan masih masuk dalam wilayah kekuasan Eyang Merapi. Itukan pasebannya (tempat untuk menghadap raja) kraton Eyang Merapi. Jadi nggak mungkin Eyang akan tega membinasakan orang yang memang sudah lama mendiami tempat sekitar itu," Bangat menjelaskan lebih jauh.
Memang, dibandingkan penduduk desa lainnya, nasib penghuni desa Kinahrejo dan sekitarnya termasuk yang beruntung. Selain merupakan desa yang nyaris selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah reresentasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Tak aneh kalau dikemudian hari kerap muncul sindirin dikalangan penduduk setempat kepada warga diwilayah barat daya gunung Merapi yang kerap jadi langganan bencana lahar. "Kalau ingin hidup tenang tentram, pindahlah kemari. Eyang Merapi kan selalu melindungi kami," ujar Wardiyah, salah seorang warga yang mengaku penduduk asli desa Kinahrejo.
Ucapan Wardiyah tersebut memang ada benarnya. Penduduk desa Kinahrejo seolah telah mendapat garansi dari Eyang Merapi. Pendek kata, selagi mereka patuh terhadap segala peraturan yang ada misalnya selalu mempersembahkan bulu bekti berupa persembahan sesajian serta selalu melakukan ritual labuhan setiap tahunnya, mereka yakin dan optimis bahwa mereka akan senantiasa terhindar dari ancaman letusan Merapi.
Sumber : pos metro balikpapan

Sabtu, 06 November 2010

LANDASAN KOPERASI

Landasan koperasi yang melandasi aktifitas koprasi di Indonesia.
* Landasan Idiil = Pancasila
* Landasan operasional = UU No. 25 Tahun 1992
* Landasan Mental = Setia kawan dan kesadaran diri sendiri
* Landasan Struktural dan gerak = UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1