Selasa, 05 Januari 2010

contoh keberhasilan usaha

KEBERHASILAN USAHA SEORANG LULUSAN SD.


Nama asli cak Karno adalah Ponidi. Cak Karno adalah nama sepupunya di Madura. Ponidi berdarah Madura dan lahir di Surabaya dari keluarga yang kurang mampu. Setelah tamat SD, Ponidi kecil tidak dapat meneruskan sekolahnya karena tidak punya biaya. Dia sempat menganggur beberapa bulan. Darah Maduranya yang suka tantangan tidak dapat diredam. Dia ingin bekerja untuk meringankan beban orang tuanya. Dia sadar bahwa dia masih kecil (waktu itu sekitar berumur 14 tahun) dan pendidikannya hanya SD maka peluang untuk mendapatkan pekerjaan sedikit. Kebetulan ada warung bakso yang tidak jauh dari rumahnya memerlukan tenaga untuk membantu berjualan bakso. Dia melamar untuk pekerjaan tersebut dan akhirnya diterima. Ponidi kecil sangat senang ketika dia diterima bekerja.
Ponidi termasuk anak yang tekun, dapat mendengarkan petunjuk maupun kritik orang lain dan motivasi kerjanyapun tinggi walaupun gajinya kecil Semua pekerjaan dia kerjakan dengan senang hati dan dapat dia selesaikan dengan baik sehingga dia disenangi oleh majikannya.
Gaji yang dia terima selalu ada yang dia sisihkan untuk ditabung. Dia memang anak yang hemat, keinginannya tidak macam-macam yang diluar jangkauan keuangannya. Dia mempunyai cita-cita yang lebih tinggi. Dia kepingin hidup lebih baik dihari nanti. Hal itu memicu dia untuk menyisihkan uangnya untuk ditabung.
Setelah beberapa bulan dia bekerja dia semakin menyenangi pekerjaannya. Selama ini dia dipercaya untuk membantu membeli bahan baku, membantu membuat bakso, meladeni pembeli, cuci piring, gelas dll. Disamping dia bekerja, dia juga mempelajari teknik membuat bakso, melayani pelanggan dsb sehingga semua aspek teknis pembuatan bakso telah dia kuasai.
Sekitar 2 tahun bekerja membantu warung bakso, banyak hal tentang per bakso-an telah dia kuasai. Dia tahu dimana membeli hahan baku dan bahan-bahan pembantu serta berapa harganya
Sudah agak lama Ponidi bercita-cita untuk mandiri, namun masih bimbang untuk memilih jenis usaha yang cocok dengan kondisinya yang akan dapat ia lakukan dan tabungan yang ada untuk modal usaha belum mencukupi.
Dia semakin yakin bahwa usaha bakso menjadi pilihan yang paling tepat baginya. Untuk itu Ponidi ingin mencoba sendiri dengan berjualan bakso keliling.

Setelah tabungannya dirasa mencukupi untuk memulai usaha bakso, dia keluar dari pekerjaannya dan mulai mempersiapkan untuk usaha bakso keliling. Beberapa pertimbangan yang dia lakukan dalam memilih jenis usaha, antara lain :
1. Bahwa bakso banyak diminati oleh masyarakat di Surabaya. Hal ini terbukti banyaknya penjual/warung bakso dan pada umumnya cukup banyak pembeli.
2. Modalnya sedikit, yaitu untuk membeli angkring (gerobak), piring/mangkok, sendok , garpu, bahan baku, dan bahan-bahan yang lain. Yang paling mahal adalah untuk membeli angkring. Uang tabungan yang dia miliki, cukup untuk memulai usaha.
3. Perputaran modal kerjanya cepat. Setiap hari mesti mendapatkan uang.
4. Bahan bakunya mudah diperoleh.
5. Tingkat keuntungannya tinggi, sekitar 20% sd 30% setiap hari dari modal kerjanya.
6. Teknologi membuat bakso telah dia kuasai.
7. Risikonya kecil.

Ponidi memulai usaha bakso keliling di Surabaya. Awal mulanya dia tidak berani berspekulasi dengan menjual bakso yang banyak. Sehari dia hanya membuat bakso dengan bahan baku daging sapi sekitar 1 kg. Dengan tekun dia lakukan itu. Setiap hari dia selalu menyisihkan sebagian keuntungannya untuk ditabung. Berkat ketekunannya usaha baksonya sedikit demi sedikit berkembang.
Sebagaimana layaknya darah Madura yang suka berpetualang, Ponidi ingin mencoba nasib ditempat lain yang dianggap mempunyai prospek yang lebih baik dibanding Surabaya. Walaupun usaha baksonya berkembang tetapi menurut dia perkembangan masih sangat lambat. Hal ibi disebabkan penjual bakso di Surabaya cukup banyak sehingga persaingan antar pedagang bakso semakin ketat. Akhirnya dia memutuskan untuk mengadu nasib di Ponorogo, sebuah Kabupaten kecil 28 km disebelah selatan Madiun.
Di Ponorogo dagangan Ponidi cukup diminati oleh masyarakat. Pelanggan semakin banyak, volume penjualannya meningkat dan juga tabungan Ponidi semakin bertambah. Hal yang positif dari Ponidi adalah selalu hemat dalam kondisi apapun.
Salahsatu pelanggan Ponidi adalah penjaga Toko Ramayana yang bernama Bibit. Setiap siang sekitar pukul 12 siang Ponidi mesti mampir ke Toko Ramayana dan Bibit pasti selalu menunggu kedatangannya untuk membeli dan merasakan bakso Ponidi yang menurutnya enak sekali. Bibit tidak hanya kepingin makan baksonya Ponidi tetapi ingin ketemu dan berbincang-bincang dengannya. Menurutnya berbincang-bincang dengan Ponidi mengasyikkan dan ada kecocokan dengan Bibit. Menurutnya Ponidi ini lain dari yang lain.
Bibit ini walaupun gadis desa tapi wajahnya cukup cantik, kulitnya juga bersih, pandai bergaul tapi agak genit. Karena sering ketemu akhirnya kedua makhluk Tuhan ini saling jatuh cinta. Untuk melangkah lebih lanjut ke jenjang perkawinan, Ponidi maupun Bibit masih belum berani, karena persiapannya terutama pendapatan masih belum mencukupi. Pada waktu itu umur Ponidi sekitar 20 tahun sedangkan Bibit sekitar 17 tahun.
Merasa bahwa perkembangan usaha bakso keliling di Ponorogo masih belum sesuai dengan harapannya, akhirnya Ponidi mencoba nasibnya di Malang. Dari pengalamannya dia mengetahui bahwa berdagang dengan sasaran pembeli (segmen pasar) golongan masyarakat kurang mampu ternyata tingkat keuntungannya tidak banyak. Golongan masyarakat kurang mampu sangat sensitive terhadap harga, sehingga Ponidi harus menjual baksonya dengan harga murah. Untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan, Ponidi harus menjual sebanyak mungkin baksonya. Ini yang menurutnya sulit.
Di Malang ternyata pesaingnya malah banyak. Kualitas bakso di Malang jauh lebih baik dari baksonya Ponidi, sehingga usaha Ponidi kurang berkembang. Namun dia pantang menyerah. Dia mempelajari cara untuk meningkatkan kualitas bakso/bakwan Malang dan akhirnya resep bakso/bakwan dapat dia kuasai.
Kemudian dia mencoba meningkatkan kualitas baksonya dan mengubah sasaran penjualan bakso dari golongan masyarakat kurang mampu ke golongan masyarakat yang lebih mampu. Disamping itu dia selalu minta masukan, kritik atau saran kepada pembelinya tentang kualitas baksonya dan kualitas pelayanannya. Setiap masukkan dicoba untuk di nalar dan digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki kualitas bakso dan kualitas pelayanannya,
Alhamdulillah walaupun pelan tapi pasti Ponidi dapat meningkatkan kualitas bakso dan kualitas pelayanannya sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan perbaikan kualitas bakso dan pelayanannya, volume usaha Ponidi semakin meningkat. Segmen pasar golongan masyarakat mampu semakin banyak yang menjadi pelanggan/pembeli baksonya.
Sambil bekerja Ponidi selalu mengadakan kontak dengan Bibit, pujaan hatinya melalui surat. Minimal seminggu sekali surat mesti dia kirim ke Bibit di Ponorogo. Demikian juga minimal seminggu sekali Bibit mengirim surat ke Malang.
Setelah tabungan dirasa cukup dan penghasilan dirasa juga dapat menutup biaya keluarga maka Ponidi secara resmi melamar Bibit untuk menjadi isterinya dan akhirnya mereka menikah dan Bibit di boyong ke Malang. Setelah menikah, semangat usaha Ponidi semakin meningkat. Apalagi setiap hari dia dibantu oleh isterinya tercinta yang selalu memberi dorongan kepada Ponidi.

Di Malang inilah awal mula keberhasilan Ponidi. Hal ini disebabkan dia meningkatkan kualitas bakso serta pelayanannya dan memperhatikan masukan dari pembeli serta dorongan dari isterinya.
Walaupun cukup sukses, Ponidi masih bercita-cita lebih sukses lagi. Di Malang, saingannya cukup banyak. Hampir semua penjual bakso di Malang kualitas baksonya bagus. Dia berpikir kalau dia pindah ke kota lain yang pada umumnya kualitas baksonya kurang bagus dia mungkin akan lebih menang dalam bersaing. Ahirnya dia berembug dengan isterinya untuk mencoba nasib dikota lain dan menentukan kota dimana dia akan pindah.
Keluarga Ponidi menentukan Yogyakarta sebagai tempat usaha dengan beberapa pertimbangan, antara lain :
1. Penduduk kota Yogya cukup padat dan sebagian besar anak muda.
2. Sebagian besar anak muda suka makan bakso,
3. Biaya hidup rendah,
4. bahan baku mudah didapat,
5. Pesaing dengan kualitas bakso yang sama, tidak banyak,
6. Kultur masyarakatnya bagus,

Karena sudah mempunyai tabungan yang agak cukup, di Yogya Ponidi tidak lagi menjual bakso keliling tetapi memasang tenda di muka rumah sakit Pugeran, pojok beteng kulon Yogyakarta. Dia berpikiran kalau tetap melaksanakan dengan cara lama (keliling) pelanggannya akan sulit untuk mencari dia kalau sewaktu-waktu ingin membeli baksonya. Dengan berjualan menetap, sewaktu-waktu pelanggan ingin membeli baksonya, pelanggan akan tahu dimana dia berada. Sejak saat itu dia pasang nama baksonya dengan nama “Cak Karno” nama sepupu Ponidi di Madura.
Semakin lama Bakso Ponidi semakin banyak pelanggannya dan dia semakin banyak tabungannya. Walaupun penghasilannya terus bertambah, prinsip “hemat” masih diterapkan oleh Ponidi dan keluarganya.
Tidak jauh dari warung tendanya ada tempat permanent milik pensiunan AURI yang disewakan. Ukuran tempat tersebut sekitar 8 x 8 meter. Waktu itu sewa per tahunnya Rp.14.000.000,- Setelah dipertimbangkan dengan masak-masak dan mengingat pembeli semakin banyak, Ponidi akhirnya menyewa tempat tersebut.
Dari hari ke hari volume penjualan warung bakso Ponidi semakin meningkat. Tidak sampai 1 tahun menyewa tempat jualan, Ponidi berhasil membeli tempat tersebut yang kebetulan pemiliknya membutuhkan uang dan menawarkan kepada Poinidi untuk membeli rumah tersebut. Pembelian tempat usaha ini juga mempertimbangkan kecocokan dengan segmen pasar yang baru.
Karena pelanggan semakin meningkat dan dari seluruh wilayah kodya Yogyakarta, maka Ponidi mencoba untuk mendekatkan pelayanan baksonya agar lebih dekat dengan pelanggan. Dia membuka 3 cabang warung bakso yaitu di dekat Pakualaman, Jl. Bhayangkara dan di dekat Jl. Solo.
Sekitar tahun 1996 Ponidi dapat menjual bakso dengan bahan baku daging sebanyak 200 kg. Pada waktu itu keuntungan yang dia peroleh per harinya tidak kurang dari Rp.2,5 juta. Pada waktu krisis ekonomi melanda Indonesia, jumlah tabungan Ponidi di Bank sekitar Rp.900.000.000,- dan tabungan isterinya sekitar Rp.200.000.000,- dengan bunga lebih dari 60% per tahun. Disamping tabungan di Bank, Ponidi mempunyai beberapa rumah yang total nilainya diatas Rp.1 milyard, mempunyai 2 buah mobil.
Saat ini tabungan Ponidi di Bank dan isterinya lebih dari Rp.5 milyard. Angka yang fantastis untuk penjual bakso yang pendidikannya hanya lulus SD.Hanya saja saat ini volume penjualan Ponidi menurun drastic menjadi 25 kg daging per hari. Hal ini antara lain disebabkan ada beberapa saudara Ponidi yang dulu bekerja di warungnya Ponidi mendirikan usaha yang sama dengan kualitas yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar